ISU-ISU DWIKOTOMI PEDIDIKAN DI INDONESIA
Disusun
untuk melengkapi tugas mata kuliah
ISU-ISU
PENDIDIKAN
Disusun
oleh :
MUHAMMAD KHUZAINI, S.Ag
PROGRAM
PASCA SARCANA IAIN SURAKARTA
2012
ISU
DWIKOTOMI PENDIDIKAN
( SEKOLAH DAN MADRASAH )
A. IDE DASAR
Pendidikan
merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya
karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses
pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam
institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur
budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam
literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu
keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti
kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
Sedemikian
pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah
selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus
mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari
perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada
seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini
adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda
turut membentuk wajah pendidikan Indonesia.
Kalau kita
perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada
pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua
bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan
desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen berbasis pusat,
kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya
itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena
dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira
awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan
sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama,
dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak
tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia,
misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam
untuk urusan agama.
Pendidikan
agama di sekolah menurut Zakiah Darajat sangat penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik karena mempunyai aspek jiwa
atau pembentukan kepribadian dengan memberikan kesadaran dan pembiasaan
melakukan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-laranganNya, melakukan
praktek ibadah, sopan santuan dalam pergaulan sesamanya sesuai dengan ajaran
akhlak agamanya akan menjadi bagian integral dari kepribadiannya ketika dewasa
nanti dan aspek-aspek pendidikan agama yang ditujukan kepada
pikiran dan kepercayaan.(Zakiah Darajat,1996:129-130)
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah
di Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya
pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan
yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti
Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban
narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang
sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan
berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan
penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
Sebagai permasalahan pendidikan yang dialami
Indonesia berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga indefendent ataupun
pemerintah yang berkaiatan dengan dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun
2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan
Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem
pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta
Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah
Vietnam.(www.compas.com)
2. Badan Narkotika Nasional
(BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP,
dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD
sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak.
Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar
SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun
tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793
anak.(www.pikiran.com)
3. Selain itu, kalangan pelajar
juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota
Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang
Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi
Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori
pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %,
pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11%
.(www.news.okezone.com)
4. Menurut hasil survey UNDP
(2002), kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179
negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh
tertinggal di bawah Philipina , Thailand , Malasyia dan Singapura. Bila
dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal. .(www.compas.com)
5. 90% anak usia 8-16 tahun
telah buka situs porno di internet. Rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs
porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak diantara mereka yang membuka situs
porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. .(www.news.okezone.com)
Itulah beberapa permasalahan pendidikan yang
krusial di Indonesia yang membutuhkan segera penyelesaian secara sistematis,
terencana dan terpola dengan baik. Jika tidak pendidikan kita mau dibawa ke
mana dan bagaimana generasi yang dihasilkan di masa depan?
B.
Identifikasi Masalah
Permasalahan pendidikan di Indonesuia
apabila berkaca dari beberapa permasalahan tersebut di atas dapatlah
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sistem pengelolaan pendidikan
di Indonesia yang dinaungi oleh dua Departemen ( dahulu ) dan sekarang disebut
kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani pendidikan
umum dan Kementerian Agama yang menaungi pendidikan agama dan keagamaan
menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif dalam tataran praktis.
2. Pemisahan dalam tataran
konsep dan paradigma pendidikan di Indonesia menimbulkan dampak terjadinya
dikotomi dan dualisme pendidikan.
3. Dikotomi dan dulaisme dalam
pendidikan membentuk sistem pengkotak-kotakan dalam pendidikan di Indonesia
baik antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, negeri dan swasta, sentralisasi
dan desentralisasi.
4. Terjadinya dikotomi dan
dulaisme dalam pendidikan agama di Indonsia menimbulkan permasalahan jurang
pemisah antara pendidikan yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dengan
pendidikan yang di bawah Kementerian Agama baik dari sisi sarana prasarana,
sumber daya manusianya, maupun ketenagaannya.
5. Pendidikan agama Islam
sebagai salah satu tonggak penanaman pendidikan moral hanya sebagai mata
pelajaran baik di sekolah maupun di madrasah masih termarjinalkan dari mata
pelajaran lainnya.
C.
Rumusan Masalah
Melalui makalah ini dapatlah dirumuskan
mengapa pendidikan agama Islam di Indonesia masih terjadi dikotomi dan
dulaisme?
D.
Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam makalah ini
adalah pendekatan deskriptif-historis. kami berusaha mengungkapkannya, menggambarkan
permasalahan yang kami angkat. Dalam tugas saya ini ada banyak tema besar yang
secara eksplisit dipaparkan yang saya kategorikan sebagai permasalahan yang
pertama yaitu dikotomi pendidikan , kedua dulaisme pendidikan di Indonesia,
dampak akibat dikotomi dan dulisme pendidikan serta bagaimana solusi yang
ditawarkan pakar pendidikan Islam.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dikotomi dan dulaisme pendidikan
1.
Pengertian Dikotomi
Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy
adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.(Hasan
Shadily,1992:205) Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di
dua kelompok yang saling bertentangan.Secara terminologis, dikotomi dipahami
sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi
fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual,
dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu
sendiri (split personality).(Ahmad Watik Pratikya,1991:104)
Meskipun dikotomi ini adalah problem
kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang
panjang sehingga bisa muncul sekarang ini. Proses sejarah tersebut diawali
perkembangan pertemuan Islam-Arab dengan budaya lainnya, yang kemudian
dilanjutkan dengan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam serta
diakhiri dengan pertentangan dua cara berpikir yang cukup berpengaruh dalam
pembentukan dikotomi ilmu dalam sejarah peradaban Islam.
Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka
dikotomi pendidikan Islam adalah dulaisme sistem pendidikan antara pendidikan
agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu
pengetahuan.Dulaisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah
pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata
pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki
kebijakan masing-masing. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam
akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam
yang kqffah (menyeluruh).
2.
Pengertian Dulaisme
Perkataan “dulaisme” adalah gabungan dua
perkataan dalam bahasa latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”.
“Duo” memberi arti kata dua. Sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama
bagi satu kata kerja. Dulaisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan.Secara
terminologi dulaisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang
berbeda dan saling bertentangan. Oleh karena itu, dulaisme ialah keadaan yang
menjadi dua, dan ia adalah satu sistem atau teori yang berdasarkan kepada dua
prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.
Asal dualisme
ini pada hakikatnya merupakan doktrin filsafat dan metafisika yang lahir dari
alam pikiran para filosof Barat dalam melihat entitas jiwa dan raga manusia.
Asal usul konsep dulaisme terkandung dalam pandangan hidup tentang alam (world
view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat.Gagasan
tentang dulaisme sebenarnya dapat ditelusuri sejak zaman Plato dan Aristoteles
yang memiliki pandangan berhubungan dengan eksistensi jiwa yang terkait dengan
kecerdasan dan kebijakan.Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa “kecerdasan”
seseorang merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa
diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.Jadi dalam pandangan tentang
hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental adalah entitas non-fisik dan
raga adalah fisik.Oleh karena itu, faham dulaisme ini melihat fakta secara
mendua.Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah.
Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain.
Dulaisme yang
dikenal secara umum sampai hari ini diterapkan oleh René Descartes (1641), yang
berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik.Descartes adalah yang
pertama kali memodifikasi dulaisme dan mengidentifikasi dengan jelas pikiran
dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan.
Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berfikir (substance that
think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang(extendedsubstance).
Dengan demikian memang secara ideologis diciptakan adanya dulaisme pendidikan,
yaitu sekolah umum yang memperoleh sokongan pemerintah dan menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan madrasah, pondok pesantren, sekolah
yang kurang mendapat perhatian dan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
B. Pandangan Islam mengenai
dikotomi dan dulaisme pendidikan
Ilmu sebagai
dasar pijakan dalam terjadinya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan dapat
kita kaji dan analisa dari Al-Quran dan Al Hadits, sebagaimana diungkap Quraish
Shihab,kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran dan
750 ayat al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya. Hal ini
mengisyaratkan agar manusia mengetahui dan memanfaatkan alam ini.Objek Ilmu
dalam Islam terbagi kepada dua bagian besar yaitu objek materi dan objek
non-materi. Seperti kaum sufi melalui ayat-ayat al-Quran memperkenalkan
ilmu-ilmu yang merela sebut al-hadlarat al-Ilahiyah al-Khams ( lima kehadiran
ilahi) sebagai gambaran keseluruhan realitas wujud, yaitu alam nasut ( alam
materi), alam malakut ( alam kejiwaan), alam jabarut ( alam ruh), alam lahut
(sifat-sifat ilahiyah, dan alam hahut ( wujud zat ilahi).
Selain itu
banyak ayat al-Quran yang memerintahkan untuk berfikir tentang alam semesta,
melakukan perjalanan dengan titik tolak dan tujuan akhir karena Allah, seperti
dalam Surat Al-‘Alaq sebagai surat yang pertama kali diturunkan diawali dengan
kalimat Iqra dan diakhiri dengan kalimat “wasjud waqtarib” ini merupakan
indikator bahwa ilmu dalam Islam tidak dikenal Ilmu hanya untuk ilmu dan tidak
dibenarkan dalam Islam. Sementara sekarang ini berkembang
ilmu itu bebas nilai.( Quraish Shihab,1996:440)
Ulama-ulama kita dulu, tidak pernah
membedakan ilmu umum dan ilmu agama, semuanya penting, hanya menurut Muhamad
Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu diajarkan
pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang beragama,
dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral yang kuat
dan visi yang jelas.(Harun Nasution,2003:58)
Bukti bahwa ulama dulu tak pernah
menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan
yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah
menjunjung tinggi keutamaan ilmudari aspek keutuhan ilmu para tokoh muslim,
ulama terdahulu juga telah membuktikan kesatuan ilmu yang wajib dipelajari.Al-Kindi
misalnya merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi.
Ibn Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik,
beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika,
al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran
sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang
diketahuinya, mulai dari ilmu fiqh, kalam, falsafah, hingga tasawuf.Begitu pula
Ibn Rusyd, seorang faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat
Al-Mujtahid, yang mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh.Ibn Khaldun
dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya
Al-Mukaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik
dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.
Jadi bisa dikatakan ternyata orang dulu
hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu.Karena bagi mereka semua aliran
ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari Allah,
Dzat yang Maha Esa.Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri.Semuanya saling terkait,
saling melengkapi.Itu mungkin rahasia kenapa orang dulu bisa menghasilkan karya
berbobot dan bertahan di pasaran dalam jangka waktu sangat lama, mereka punya
otoritas keilmuan interdisipliner.
Konsep dikotomi ilmu masuk bersamaan dengan
diterapkannya metode dulaisme keilmuan agama non agama (ilmi vs adabi).Proyek
itu digalakan oleh Muhamad Ali Fasya, saat memimpin Mesir.Tepatnya pasca
dijajah Perancis,niatnya baik sebetulnya. Ia ingin memajukan umat Islam melalui
sains dan teknologi, tapi cara yang ditempuh tidak tepat karena menghasilkan
dulaisme keilmuan yang sangat berbahaya.(Harun Nasution,2003:29-30)
Menurut H.M. Arifin, Al-Quran sebagai
sumber pedoman bagi umat Islam mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia
hampir dua pertiga ayat-ayat Al-Quran mengandung motivasi kependidikan bagi
umat manusia. Allah Yang Maha Kuasa secara langsung menjadikan manusia baik
atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka, sehat atau sakit, merupakan
suatu sistem berbagai proses yang pada dasarnya sebagai mekanisme sebab
akibat.(HM.Arifin,2009:33)
Keseimbangan antara kehidupan dunia dan
akhirat menunjukkan betapa penting antara keduanya dan saling berkaitan satu
sama lain, maka dalam disiplin ilmu pun tidak harus membedakan ini ilmu duniawi
dan yang lain ukhrawi. Seperti beberapa ayat berikut yang mengarahkan
keseimbangan dalam pendidikan:
Artinya:
“ Dan carila apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan
berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”(Depag,2004:395)
“ … Dan apabila dikatakan , “berdirilah
kamu”maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).
Dikotomi ilmu adalah konsep yang sama
sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf. Banyaknya ulama yang punya
otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak
mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang
sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi, Tafsir, Hadis,Fikih, dll) dan
ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu,
wajib dikuasai semuanya. Hanya istilahnya dibedakan, kalau mempelajari ilmu
agama (dasar-dasarnya) itu fardu ’ain.Artinya wajib bagi setiap manusia Islam
mempelajarinya.Sementara mempelajari ilmu-ilmu umum adalah fardu
kifayah.Artinya kalau secarafungsional sudah tercukupi kebutuhannya maka gugur
kewajiban bagi yang belum mempelajarinya.Artinya terminologi dalam ranah
keilmuan Islam sangat luas cakupannya menyangkut hal yangbisa diverifikasi dan
hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan kalimat ‘ilmu dalam bahasa
Arab dengan science (Inggris) menurut saya tidak tepat. Karena istilah science
sangat positivistik hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris
belaka.
Secara normative-konseptual, menurut Abdul Rahman
Al Segaf, dalam Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu. Jika kita menoleh pegangan
Islam yakni Al-Quran maupun Hadits kita tidak menemukan baik secara tersirat
terlebih lagi tersurat menemukan dalil mengenai dikotomi ilmu. Justru
sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu.
Sedangkan menurut Ramayulis, dalam
pendidikan Islam tidak dikenal pemisahan antara sains dan agama.Penyatuan
keduanya merupakan tuntutan akidah Islam.Allah dalam doktrin ajaran Islam
adalah pencipta alam semesta termasuk manusia, dan menurunkan hokum-hukum untuk
mengelola dan melestarikannya. Hukum mengenai alam fisik merupakan sunnah
Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia
dinamakan din Allah. Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam pendidikan tidak
dibenarkan adanya dikotomi pendidikan agama dengan pendidikan sains. Peserta
didik harus memahami Islam sebagi a total way of life, minimal seorang pendidik
harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep ilmu yang secara
langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan atau
sebaliknya.( Ramayulis,2010:31-32)
Memandang
berbagai hal dampak dan implikasi negatif dari dikotomi ilmu-ilmu agama (al-‘umum
al-diniyyah atau religious sciences) dengan ilmu-ilmu umum (general
sciences), maka sudah waktunya bagi kaum Muslimkhususnya lembaga-lembaga
Islamuntuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”. Sehingga yang dibutuhkan sekarang
adalah cara memandang kita selama ini yang masih mengkotak-kotakkan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum haruslah direvolusi. Ilmu-ilmu dipandang sebagai satu
kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif Islam, sama-sama
mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya.
Walau
Islam mengajarkan integralisme keilmuan menurut Azyumardi Azra ia menyebutnya tawhidic
paradigm of sciencespada tingkat konseptual, tetapi harus diakui bahwa pada
tingkat praksis tidak jarang terjadi disharmonisasi, dan dikotomi di antara
keduanya, seperti dikemukakan penjelasan di atas.Bahkan dikotomi sering
menjangkau epistemologis, yakni antara wahyu dengan akal, atau antara
“ilmu-ilmu agama” dengan “ilmu-ilmu umum”. Sebab itu, guna mengatasi
disharmonisasi dikotomi tersebut para pemikir dan ilmuwan Muslim menawarkan
klasifikasi ilmu lengkap dengan hierarki mereka masing-masing. (azyummardi Azra,2006:110)
Sebagaimana
dikemukakan oleh Nasr yang dikutip oleh Azyumardi Azra, berbagai cabang ilmu
dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari persepektif Islam pada
akhirnya adalah satu. Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada pemisahan yang sangat
esensial antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Hal ini dapat kita
lihat misalnya banyak intelektual muslim sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn
sina, sampai Al-Ghazali, Nashir Al-Din Al-Thusi, dan Mulla Shadra dalam
berbagai disiplin ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang
dikembangkan dalam kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi
pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha
Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu. Hal ini pula terbukti dan
menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan
ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim kedalam hierarki
ilmu pengetahuan Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid Imam Malik, asy-Syafi’I
(150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan
kedua kubu.Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan
berpikir, bisa diredam sedini mungkin. Kita akan lihat sejauh mana asy_Syafi’I
merumuskan dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi
dibandingkan dengna posisi Aristoteles dalam bidang filsafat. Kalau Aristoteles
berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi mantiqnya (logika),
demikian asy-Syafi’I dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan
metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam master piece-nya ,ar-Risalah.
Artinya ini menandakan dalam pembentuan dasar-dasar hukum Islam (ushul
fiqh) sangat menyentuh tradisi filsafat.(Ahmad Baso,2006:135)
Selain
asy-Syafi’I kita kenal nama dalam kancah pemikiran Islam Al-Kindi merupakan
pemikir Muslim pertama yang berusaha memecahkan masalah klasifikasi.
Klasifikasi pertama adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu yang
disampaikan Tuhan melalui wahyu, tetapi melibatkan pengguanaan akal dan
nalar.Klasifikasi kedua adalah al-ulum al-aqliyyah, yakni ilmu-ilmu
intelek, yang diperoleh terutama penggunaan akal dan pengalaman pengujian
empiris.Dalam karyanya Fi Aqsam Al-Ulum (jenis-jenis Ilmu). Ia disusul
oleh Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang
Hierarki ilmu) memainkan pengaruh lebih luas. Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam
mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd yang semuanya
mampu menjadi rujukan-rujukan keilmuannya sampai didunia Barat.
Nah
bagaimana dengan klasifikasi ilmu-ilmu yang demikian rumit ?Hal ini menunjukkan
kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan dan perdaban
Islam.Ilmu-ilmu agama hanyalah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam secara
keseluruhan.Pada tingkat praksisi bisa dikatakan, kemajuan peradaban kaum
muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspekdan bidang-bidang keilmuan.
Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan, apalagi diharamkan, maka
akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang mengakibatkan retardasi muslim
secara keseluruhan.
Menurut Ahmad Tafsir, penamaan ilmu-ilmu
yang berdasarkan al-Quran dan al-hadits kedalam kategori religius tidaklah
dapat diterima, karena akan mengakibatkan subjek-subjek selainnya seperti
psikologi, sejarah dan sebagainya menjadi tidak religius, padahal al-Qur`an
tidak mengkontradiksikan cabang-cabang atau subjek-subjek pengetahuan.(Ahmad
Tafsir,2007:68)
Al-Attas
membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan.
Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah pemberian Allah (God
Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu
capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Manusia terdiri dari dua
unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu
pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui
usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Akal merupakan mata rantai
yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada
hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami
hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa
ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri
manusia.Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah,
dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah,
melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena
universitas menurut al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling
tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Ruang lingkup dan
kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa
diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan
ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan
perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus
didahulukan.(Al Attas, Syed Muhammad Naquid,1994:41)
Ilmu
dan agama bukan sesuatu yang harus dipisahkan, tetapi lebih pada saling
mengisi. Enstain seorang ahli fisika mengemukakan “ilmu tanpa agama adalah
buta”.jadi semua punya titik temu yang mengarah pada dogma agama sebagai
muaranya. Ilmu pegetahuan bermuara ke filsafat dan filsafat sebagai mother of
secience “induknya ilmu bermuara ke agama.Jadi ilmu bukanlah semata-mata
otoritas duniawi yang berbeda dengan agama yang dipandang berorientasi akhirat.
Ini pemahaman yang salah dan harus diluruskan bahwa ilmu itu adalah upaya akal
untuk mengenal gejala alam yang tentunya sebagai cara mengenal keagungan Allah.
Akar
masalah dikotomi ilmu dalam Islam di Indonesia adalah warisan dari zaman
colonial belanda, karena anak-anak yang bias masuk sekolah belanda sebelum
kemerdekaan hanya 6 % terbatas bagi anak-anak bangsawan dan saudagar. Sedangkan
anak-anak orang islam memilih madrasah atau pondok pesantren yang memang sudah
ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yag didirikan oleh pemerintah colonial
Belanda. Karena tekanan politik pemerintah colonial maka sekolah-sekolah agama
Islam memisahkan diri dalam kubu tersendiri. (Drs.H. Rohmat,Ph.D,2011)
Menjadi
hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal
ini dapat kita lihat orang masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum
al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general
sciences). Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan
sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi
pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat
konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.
Berbicara
lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal ini sangatlah terkait dengan masalah
dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga berimbas pada terjadinya dikotomi
pendidikan umum dan pendidikan agama dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini
merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk
sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum
bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok
pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan politik pemerintah
kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri dan terkontak dalam
kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah pendidikan terkotak-kotak
(dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bila kita menoleh
sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra, hal ini bermula dari historical
accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan)
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.
Setelah kemerdekaan, dulaisme yang
diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap mengakar dalam dunia pendidikan
kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang
menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola
sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri di kutub yang berbeda
dengan sekolah umum. Oleh karena itu keikutsertaan Departemen Agama
secara historis dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab
kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri.
Dengan tugas dan fungsinya dibidang pendidikan, Departemen agama telah
mengemban konsep konvergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah
agama.(http://udhiexz.wordpress.com)
Kemudian
dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan
Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk
menghilangkan dikotomi pendidikan di Indonesia,walaupun secara kelembagaan berjalan terus. Akan tetapi SKB tiga
menteri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap
menjadi-jadi.
Hubungan antara ilmu dan agama ialah suatu
pemikiran manusia terhadap kebenaran hakiki Allah, melalui fenomena qauniyah
dan fenomena aqliyah yang berkembang terus menerus. Inti pemahaman
hubungan tersebut ialah keimanan dan ketundukan mutlak manusia kepada Allah
yang tercermin dalam sikap dan prilaku:
1)
Kebenaran Mutlak (al-haq) hanya kepada Allah semata dan kebenaran yang
dicapai manusia (dengan qauniyah atau naqliyah) hanya kebenaran
relatif
2)
Keyakinan akan tiadanya pertentangan antara ilmu dan agama karena keduanya
berasal dari sumber yang sama
3)
Kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya sumber kebenaran dan bukan satu-satunya
jalan pemecahan bagi problema kehiduapan manusia.
C.
Faktor-Faktor yang menyebabkan timbulnya dikotomi dan dulaisme dalam pendidikan
Lantas, mengapa terjadi dikotomi
ilmu?Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal.Pertama,
faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian
pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara
ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh.Epistemologi merupakan salah satu
wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of
knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara
mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan
klasifikasi pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan
sampai ke anak cabang.Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu
(mother off all sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap
saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu pendidikan pun pecah menjadi cabang
ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi
pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut pecah
lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan
kurikulum, strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini
menyebabkan jarak antar filsafat sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak
cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan, di mana
pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya
masing-masing.(Abd. Rahman Assegaf,2005:7-9)
Kedua, faktor historis perkembangan
umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan
(tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau
meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical
accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam
sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama
tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum
termasuk fardlu kifayah atau kewajiban
kolektif.Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam
saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi
(IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.
Ketiga,
faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan
upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi,
politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang
berpenduduk mayoritas Islam.Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak
terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya, asumsi mengenai
dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah,
symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat Islam, seperti
terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri,
ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan
Islam itu sendiri, masih menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme
antara urusan duniawi-ukhrawi, akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan
antara ilmu agama dengan ilmu umum.Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat
kita sudah terjadi dikotomi tersebut.Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi
pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem politik, budaya, hukum, dan seterusnya
yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang dialami pendidikan Islam.
Setelah kita berbicara mengenai akar
masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan dipaparkan penyebab dan
akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan dikotomi
pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh
Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”,
yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian
empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang
hebat dari kaum fuqaha.Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam
pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada
persoalan-persoalan yang memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan
pendidikan Islam pada umumnya.(Azyumardi Azra,1998:94)
Sedangkan
secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan dikotomi
pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam,
yaitu adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya. Krisis
konseptual tentang defenisi atau terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem
pendidikan Islam itu sendiri, atau melihat konteks Indonesia adalah Sistem
Pendidikan Nasional.
Pada
prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat
kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai
ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini
terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan
pendidikan agama Islam.
Krisis
konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam.
Kita sering mendengarkan adanya istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu
keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu
agama (al-‘umum al-diniyyah / religious sciences) atau menurut
Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden).Sehingga hal ini
berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga
hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang
kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.
Krisis
kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan
yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu
agama ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia;
misalnya dengan adanya dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang
diwakili madrasah dan pesantren dengan pendidikan umum; di tingkat pendidikan
tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan tinggi umum. Hal ini dapat
pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan
Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi
pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN dengan
segala perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka jurusan-jurusan
ilmu-ilmu umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan masalah dikotomi
pendidikan di Indonesia.
Sedangkan
menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab pokok terjadinya
dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:
1). Imperialisme dan kolonialisme Barat
atas dunia Islam
Sebagai
akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim kepada
umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara
Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan
akal dan tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa
dunia mereka mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif
dan berusaha untuk menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga
(Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik
secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan sumber
utama kreativitas, yakni “ijtihad”.
Mereka
mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan syari’ah sebagai
hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap
penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak
disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah
harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan
Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa
Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan
tindakan-tindakan konservatif tersebut.(Ismail Raji al Faruqi,1982:40-41)
Pada
zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di
Eropa.Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki
karena di sini kekuatan Barat berhasil diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah
dan Barat tidak menarik untuk dijadikan daerah jajahan.Kekuatan Barat
mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang
menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon terhadap
kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua
abad terakhir ini, para pemimpin muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba
melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan
secara politik, ekonomi, dan militer.
2). Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi
di Kalangan Umat Islam
Di
awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.Wawasan
Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di
dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah keasyikan dari seluruh
masyarakat Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang
materi-materi dan kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke
dalam pola-pola Islam.
Pada
waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid,
qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik,
jenderal, petani atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa
lemah, maka orang-orang di sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya
dalam mengatasi kekurangan itu. Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita
Islam.
Di
kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya
terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik dan pemilik
kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa
berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan
mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa
asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk mempertahankan posisi
mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan
besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari
keterlibatan aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan
mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Di
saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena
tidak padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di
dunia Islam itu terjadi juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik
dan budaya.(M. Shofan,2004:10-13) Mereka cenderung menengok ke belakang ke
romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah mengatakan
bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para
sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana
Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia
Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya
arah.
Menurut
al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem pendidikan,
yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari solusi
dari malise yang dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan,
sambil menghindari perangkap dan kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi
pengetahuan itu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam.
Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah kerangka Islam berarti
membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan Allah,
kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan
kesatuan umat manusia.
Dengan
demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat
Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan;
yakni pemaduan kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern
melalui filterisasi ilmu. Sistem pendidikan Islam yang terdiri dari
madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliyah-kuliyah dan jami’ah-jami’ah
pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari
sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses islamisasi ilmu.
D. Sejarah timbulnya dikotomi dan
dulaisme pendidikan di Indonesia
Sejarah
di Indonesia, membuktikan terwujudnya komunitas haji, ulama, santri dan
pedagang membuat anti terhadap imperialisme Belanda, seperti yang dilansir
Clifford, pertumbuhan pesantren yang anti imperialism Belanda membangkitkan
Santri Insureaction atau pemberontakan santri seperti yang terjadi pada tahun
1820-1880 terjadi paling tidak lima kali pemberontakan santri seperti perang
Paderi ( 1821-1828), Perang Dipenogoro, Perang Banjarmasin, Perang Aceh dan
perang Banten dan masih banyak perang lainnya dimotori oleh gerakan santri,
kiayai, ulama yang berbasis Islam. Hal ini menimbulkan kecurigaan Pemerintah
Belanda terhadap Islam.
Sekolah
pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia.Sekolah yang
tadinya hanya untuk kalangan keturunan Belanda, dengan etische politiek
(kepotangan budi) di negara jajahan Belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi
kaum bumi putera (SR).Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham
humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program
utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk
meningkatkan produktivitas di tanah jajahannya).Untuk Perguruan tinggi dimulai
dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia
berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya
UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian
melebur jadi fakultas hukumnya UI.Juga disusul beberapa fakultas lainya.
Zakiah
Darajat mengungkapkan pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan agama tidak
diberikan di sekolah-sekolah negeri dengan alasan pemerintah bersikap netral
untuk tidak mencampuri masalah pendidikan agama, karena pendidikan agama
merupakan tanggung jawab keluarga, sehingga setiap usulan wakil-wakil rakyat
pribumi di Volksraad agar memasukan pelajaran agama Islam di di Perguruan Umum
selalu ditolaknya, yang dibolehkan hanya di sekolah-sekolah partikulir (swasta)
yang berdasarkan keagamaan.(Zakiah Darajat, dkk,1992:90-91)
Pemerintah
Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol
yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan
menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
Ordonansi guru dikenal pada masa pemerintah
Belanda dengan mengeluarkan peraturan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie). Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di
Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah
umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan
peraturan yang disebut netral agama.
Seperti yang dinyatakan pada Indische Staatsregeling bahwa pendidikan
umum adalah netral, yang berarti pengajaran diberikan dengan menghormati
keyakinan masing-masing. Namun disekolah umum untuk kalangan
pribumi, pada HIS dan MULO diberikan pelajaran agama Islam, secara sukarela
sekali dalam seminggu bagi murid-murid yang berminat atas persetujuan orang
tuanya.
Pemerintah Belanda sendiri yang melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi pribumi, membentuk dua lembaga,
yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst untuk mengawasi pengajaran
agama di sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk
pendidikan Islam dilembaga pendidikan Islam.Kebijakan
pemerintah kolonial yang memarjinalkan aspirasi dan kepentingan kalangan muslim
menjadi cikal bakal terciptanya dualitas pengaturan negara terhadap berbagai
masalah yang berhubungan dengan kepentingan kalangan muslim.
Dalam
konteks Indonesia, dikotomi dimulai semenjak Indonesia mengenal sistem
pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Depag
(Departemen Agama). Sementara ilmu-ilmu umum (sekuler) berada di bawah
Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional). Repotnya hal ini sangat berpengaruh
pada fasilitas dan anggaran dana. Kalau kita perhatikan APBN 2006, misalnya,
ternyata yang terakhir ini anggarannya relatif lebih subur (Rp. 36.755,9
milyar) daripada yang pertama (hanyasebesar Rp. 9.720,9 milyar: berbanding
79,1% : 21,9%.
Ketika undang-undang pendidikan nasional
pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan
Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada
hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang
sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan
lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.
Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih
didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum
terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan
manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan
pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama.
Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan
Keputusan Presiden tersebut.Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras
dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari
sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama
dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah
harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki
madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.
Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres
dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat
madrasah, juga dipandang sebagai langkah untuk
mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi
yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan
setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang
menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui
pengebirian partai politik Islam.
Setelah
Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari betapa
pentingnya pendidikan agama.Kihajar Dewantoro selaku Menteri pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet pertama menyatakan pendidikan agama
perlu diajarkan di sekoklah-sekolah negeri. Kemudian pada 3 Januari 1946
didirikanlah Kementerian Agama yang bertugas beberapa diantaranya melaksanakan
kewajiban-kewajibannya antara lain urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam
dan Kristen, mengangkat guru agama dan mengadakan pengawasan pelajaran agama.(Zakiah
Drajat,1992:91)
Ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang banyak berdasar kepada hukum alam (natural
laws=sunnatullah) tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam
dan wahyu berasal dari Tuhan, maka antara keduanya tidak mungkin bertentangan
dan ilmu pengetahuan mesti sesuai dengan Islam.Islam di masa lampau mengalami
kemajuan yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kemajuan ilmu pengetahuan
yang berkembang pada saat itu,maka untuk mencapai kemajuan yang hilang umat
Islam harus kembali mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan.(Harun
Nasution,2003:56)
Untuk
merealisasikan hasil di bidang pendidikan agama, maka diterbitkan peraturan
Bersama Menteri PP&K dan Menteri Agama No. 1142/Bhg A (
Pengajaran)/No.1285/KJ Agama tanggal 2-12-1946 yang menentukan pelajaran agama
di Sekolah Rakyat sejak kelas IV dan mulai berlaku 1-1-1947. Kemudian lahir
UU.No. 4 /1950 Jo.No.12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah. Salah satunya pasal 20 Bab 12 yang menyatakan bahwa dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran, orang tua murid menetapkan apakah
anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
Pelajaran agama
kemudian ditetapkan dengan TAP MPRS No.II/MPRS/1960 dengan menjadikan
pendidikan agama menjadi pelajaran di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar (SD)
sampai dengan Universitas Negeri hingga saat ini.
Abuddin Nata
membagi kebijakan pemerintahan Indonesia secara umum dalam bidang pendidikan ke
dalam empat periode sebagai berikut:
Pertama, masa pra kemerdekaan,
yaitu masa penjajah Belanda yang menerapkan diskriminatif terhadap rakyat
jajahannya dan termasuk pelit dalam memberikan pendidikan bagi
rakyatnya.Belanda membiarkan kebodohan agar mudah ditindas, dijajah dan
diadudomba. Kemudian sedikit ada perubahan setelah ada tekanan internasional
yang dikenal dengan politik etis, salah satunya menyedikan pendidikan kepada
rakyat secara terbatas dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang
dipekerjakan di beberapa perusahaan milik Belanda.Belanda tidak suka terhadap
keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di Pesantren, madrasah dan
sebagainya karena dianggap sebagai sarang pemberontak, dan pembangkang yang
dikenal sebagai konsep jihad dan menganggap Belanda sebagai orang kafir yang
harus diperangi, sehingga umat Islam bersikap non-kooperatif, tidak mau bekerjasama
dengan pemerintah Belanda.(Abudin Nata,2008:9)
Kedua, masa pasca kemerdekaan
yang dikenal masa orde lama. Pada masa ini terjadi upaya pembaharuan dan
memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan
tuntutan zaman, namun suhu politik pada saat itu sedang mengalami pancaroba dan
mencari bentuknya.
Ketiga, masa Orde
Baru,pendidikan pada masa ini bersifat sentralistik,refresif dandepolitisasi
masyarakat yang harus berorientasi kepada loyalitas terhadap pemerintahan.
Anggaran alokasi untuk pendidikan sangat minim bila dibandingkan dengan
Negara-negara berkembang lainnya yang tidak pernah mencapai 10% dari APBN.
Keempat masa orde reformasi,
dimana semakin berkembangnya wacana demokrasi, sehingga menghasiulkan
Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi
demikian pada akhirnya pemerintah terlibat untuk menyelesaikan persoalan ini
dengan mengembangkan beberapa madrasah menjadi madrasah negeri.Alasannya ialah
karena situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah.Kalau kekuatan
sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan
politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah.Kalau para
tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan
Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan
sejarah, maka tidak demikian halnya di waktu sekarang.
Ada dua ancaman
dari dulaisme pendidikan yang harus diwaspadai menurut Ahmad Tafsir, pertama,
subjek-subjek baru yang diambil dari sekolah modern akan mengambil waktu yang
lebih lama dalam kurikulum yang akan mengurangi subjek-subjek esensial
mengakibatkan semangat keislaman semakin melemah, kedua kekurangwaspadaan
menyebabkan masuknya sekularisme ke dalam pemikiran Islam. Agama dibatasi dalam
beberapa jam pelajaran agama yang pada akhirnya akan mengeluarkan agama dari
aspek-aspek tertentu kehidupan manusia terutama sains.(Ahmad Tafsir,2007:68)
E. Dampak akibat dari
dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia
Zakiah Darajat
menuliskan dengan gamblang tentang tragedy dunia modern yang disebabkan oleh
beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir manusia modern antara lain
kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan
dalam hidup, keadaan yang tidak stabil yang disebabkan akibat perkembangan ilmu
pengetahuan yang berjalan cepat tetapi tidak disertai oleh agama yang pada
akhirnya membawa lengahnya orang kepada kepercayaan agama yang dahulu dijadikan
sebagai pengendali tingkah laku dan sikap dalam hidup, logika dan cara-cara
ilmiah menonjol, sedangkan segi-segi perasaan dan emosi kurang mendapat
perhatian bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Gambaran sejarah pendidikan di
Indonesia saat ini bisa dialami bersama.Dari gambaran di atas ternyata masalah
pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja,
tapi juga iklim sosial budaya dan politik ikut berperan.Namun bukan alasan
untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu
sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus
sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.
Dengan
munculnya dikotomi (dulaisme) pendidikan merupakan pukulan besar yang sudah
lama menghinggapi pendidikan di Indonesia, sehingga hal ini mempunyai dampak
negatif yaitu:
1. Anti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek
teologi Islam yang diajarkan
disekolah-sekolah agama selama ini.
2. Sekolah agama telah terkotak
dalam kubu tersendiri
3. Sumber masukan sekolah agama dan perguruan tinggi
Agama Islam rata-rata ber IQ rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong
kelas dua.
4. Kegiatan keagamaan dan api keislaman di IAIN dan perguruan Agama Islam
kurang menonjol dan kurang dirasakan dibandingkan dengan perguruan tinggi
umum.(http://udhiexzwordpress.com/tag/dikotomi-di-indonesia)
Adanya dikotomi
dalam pendidikan yakni ilmu umum dan ilmu agama dengan memotong hubungan kedua
ilmu tersebut, itulah yang diakomodir undang-undang Pendidikan, melihat UU
Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang berbunyi: “Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan”. Dari
pasal tersebut tampak jelas terjadinya dikotomi dalam pendidikan agama dan
pendidikan umum, di tingkat kelembagaan pun dipisahkan antara perguruan tinggi
agama seperti UIN Syarif Hidayatullah dan perguruan tinggi umum seperti ITB, UI
dan lain-lain.
Pendidikan
agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen
Agama, sedangkan pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan
kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan
Nasional. Pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam
secara teoritik sehingga hanya menghasilkan seorang Islamolog, tetapi
pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang
Islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist.
Diantara
beberapa fakta yang diakibatkan hasil pendidikan Indonesia berdasarkan beberapa
penelitian sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa
sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara
yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik,
disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia
menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna
narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662
anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543
anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling
mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba.Pada tahun
2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun
2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com).Selain
itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya
di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara
Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus
Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori
pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %,
pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com).
3. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai
diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain
ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan
(LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE),
Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia
(FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung
(FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum
(LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia
Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang
Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan
4. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
5. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990
menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar
25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat
pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas
1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri.Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada
tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
6. Menurut hasil survey UNDP (2002), kualitas SDM Indonesia ternyata
hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya
satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina , Thailand
, Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh
tertinggal.( Kompas 4/9/2004).
7. 90% anak usia 8-16 tahun telah buka situs porno di internet. Rata-rata
anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak
diantara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan
rumah (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Warung Internet Indonesia,
Irwin Day. 25 Juli 2008. Media Indonesia)
F. Solusi dalam menangani
dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia
Mengenai
persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah
dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara
umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya yakni mengisinya
dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut persoalannya
adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu
untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha
intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam .
A.Syafi’i Ma’arif mengatakan bila konsep dulaisme dikotomik berhasil
ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan
berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan
tinggi.
Menurut
Ramayulis, solusi mengurangi atau mentiadakan dikotomi dalam pendidikan dengan
berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam
yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan antara
jasmani dan rohani serta keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Menurut Kamal
Muhamad Isa, kesalahan utama manusia yang selama ini berlangsung terus menerus
adalah adanya pemisahan antara ilmu dan agama, bahkan agama dianggap sebagai
musuh ilmu, penghalang ilmu, atau paling banter hanya dianggap sebagai
pengganti ilmu. Padahal agama merupakan kerangka dasar dari setiap ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, yang menjadi sumber bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan itu sendiri. Agama merupakan satu-satu dasar dan
sumber yang mengatur seluruh permasalahan kehidupan manusia. Orang yang belajar
al-Quran dengan cermat dan teliti akan menemukan sebagian ayatnya yang disebut
berbagai fakta dan peristiwa sebagai muqaddimah yang kemudian sampai kepada
Allah sebagai suatu keputusan yang disebut ilmu teory, sementara ayat-ayat yang
menyatakan kehidupan merupakan topik dari ilmu pengetahuan dinamakan ilmu
praktis.(Kamal Muhammad Isa,1994:30-31)
Solusi
berikutnya adalah peintegrasian ilmu, sebelumnya marila kita melihat
dalam Al-quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahsa berarti kejelasan, karena itu segala
yang berbentuk dari akar katanya mempunyai arti kejelasan.Perhatikan misalnya
kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung),
‘alamat (alamat), dan sebagainya.Ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa
(mengetahui), a’rif (yang maha mengetahui) , dan ma’rifah
(pengetahuan). Sehingga wajarlah Islam sebagai agama yang rahmat untuk seluruh
alam tidak pernah membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Persoalan,
pengategorian kelompok ilmu umum, dan ilmu dalam Islam umumnya muncul lebih dodorong
atas kepentingan politik.Hal ini terlihat menonjol dengan kemunculan alasan
akumulasi kuantitatif wilayah; dan filsafat lebih banyak dipelajari di
Negara-negara barat dan agama dipelajari di Negara-negara timur, maka
pertentangan ini menjadi pertentangan dua kelompok ilmu dengan istilah “Barat”
dan “Timur”. Dalam pandangan Islam, bukan berarti “Barat” kedudukannya lebih
tinggi dari “Timur” atau sebaliknya.
Al-Faruqi
menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan melebur dua
sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem pendidikan yang
berwawasan Islam.Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem dikotomi sistem
pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat.Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam
pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan Barat tidak harus
ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses filterisasi yang
disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan dengan pesan al-Quran dan
al-Hadits.
Peran
islamisasi ilmu dalam pemecahan problem dikotomi pendidikan islamadalah spirit
yang ditawarkan al-Faruqi dalam rangka memecahkan problem dikotomi pendidikan
Islam adalah Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam. Menurut al-Faruqi, para
akademikus muslim harus menguasai semua disiplin ilmu modern, memahami disiplin
tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai perintah agama. Setelah itu
mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut ke dalam keutuhan
warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian
terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan
nilai-nilainya.(ismail raji al faruqi,1982:34-35)
Harus diakui
bahwa di era sekarang keilmuan Islam tertinggal jauh dari Barat. Menolak
keilmuan yang datang dari Barat jelas mengalienasi diri dari perkembangan zaman
dan tidak realistis, dan itu akan semakin membuat umat Islam tertinggal.
Sementara menerima keilmuan Barat yang cenderung sekular secara penuh
dikhawatirkan akan menggerogoti ajaran keislaman yang penuh dengan normativitas.
Dengan begitu, tiba saatnya bagi para cendekiawan Muslim meninggalkan
metode-metode asal tiru yang berbahaya dalam reformasi pendidikan. Menurut
al-Faruqi, reformasi ke arah modernisasi pendidikan Islam hendaklah Islamisasi pengetahuan
modern itu sendiri. Jadi tugas umat Islam adalah sama, meski dengan jangkauan
yang luas, dibanding yang dilakukan para leluhur umat yang mencernakan
pengetahuan pada zaman mereka dan menghasilkan warisan Islam berupa kultur dan
peradaban. Setiap disipilin sains sastra, sosial, dan ilmu alam, harus disusun
dan dibangun ulang, diberikan dasar Islam, dan diberikan tujuan baru yang
konsisten dengan Islam.
Setiap disiplin
ilmu harus dituang kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam di dalam
metodologi, strategi, data, problem, tujuan dan aspirasinya.Setiap disiplin
ilmu harus ditempa ulang sehingga mengungkapkan relevansi Islam dengan tiga
sumbu Tauhid.Sumbu pertama adalah kesatuan pengetahuan.Berdasarkan
kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus mencari nilai objektif yang
rasional, yakni pengetahuan kritis mengenai kebenaran.Dengan demikian tidak ada
lagi dikotomi keilmuan; aqli dan naqli atau ilmiah dan dogma.
Sumbu kedua
adalah kesatuan hidup.Berdasarkan kesatuan hidup ini segala disiplin
harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian tidak
ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedang disiplin lain
bebas nilai atau netral. Sumbu ketiga adalah kesatuan sejarah.
Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat ummatis
atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengambil tujuan
umat di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan
dalam sains yang bersifat individual dan sains yang bersifat sosial, sehingga
setiap disiplin tersebut bersifat humanistis dan ummatis.
Usaha
pendidikan Islam menurut Dr. Kamal Muhammad Isa seyogyannya menargetkan hasil
pendidikan yang akan didapat oleh para siswanya sebagai berikut:
a. Siswa meyakini konsep ilahi sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak
terpilah-pilah atau terkotak-kotak yang merupakan sebuah sistem rabbabi yang
sempurna.
b. Siswa harus mampu meyakini bahwa syariat Islam itu selalu berkaitan
dengan naluri manusia.
c. Siswa harus memiliki basis iman dalam alam pemikiran dan perasaannya,
dengan persepsi dasar yang benar dalam menafsirkan hakikat alam, hubungan
dengan penciptanya, serta posisi manusia di dalamnya.
d. Siswa harus memiliki rasa
bangga kepada agamanya.
e. Hati dan jiwa para siswa
harus saling bertaut dan terikat dengan Khaliqnya.
f. Para siswa memiliki disiplin
yang tinggi dalam menjalani etika riset ilmiah dalam Islam.
g. Mengaitkan jiwa dan hati para
siswa dengan kitabullah.
Solusi dari
masalah manajemen pendidikan menurut Hujair AH Sanaky dengan menawarkan perubahan
manajemen pendidikan ke arah, pertama desentralisasi pengelolaan pendidikan
Islam adanya perubahan paradigma dari orientasimanajemen pemerintahan yang
sarwa negara (state driven) menjadi berorientasi ke pasar, perubahan paradigma
dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi
pada demokrasi, perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi
kewenangan, manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan
global menjadi kebijakan dan aturan pemerintah harus mengakomodasi tata aturan
global.
Kedua,
manajemen berbasis sekolah, apakah pendidikan Islam dapat menerapkan manajemen
berbasis sekolah? Menurut Hujair AH Sanaky karenapendidikan Islam sebagai sub
sistem pendidikan nasional maka harus menerapkan sistem ini meski ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapannya yaitu kewajiban sekolah,
kebijakan dan priotitas pemerintah, partisipasi masyarakat dan orang tua,
peranan profesionalisme dan manajerial serta pengembangan profesi. Ketiga
manajemen pendidikan tinggi adalah menekankan kemandirian lebih besar dalam
pengelolaan atau otonomi, untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan manajemen
perguruan tinggi Islam yang baik perlu memperhatikan kualitas, otonomi,
akuntabilitas (pertanggungjawaban), evaluasi dan akreditasi.
Problematika juga ada pada
sumber daya pendidikan Islam, dengan rendahnya kualitas tenaga kependidikan
padahal dituntut memiliki sumber daya pendidikan yang berkualitas dan
profesional maka yang harus dilakukan oleh pendidikan Islam adalah adanya
program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for
trainers .
Aktualisasi
pendidikan Islam dalam masyarakat madani di Indonesia, pada bagian ini Hujair
AH Sanaky pembahasannya lebih difokuskan pada empat hal, pertama upaya
pendidikan Islam bagi pemberdayaan manusia (proses humanisasi) dan masyarakat
unggual, kedua upaya demokratisasi pendidikan Islam, ketiga model-model
pendidikan Islam alternative dan keempat peran pendidikan Islam dalam
masyarakat madani Indonesia pendidikan merupakan proses humanisasi, merupakan
proses yang terbuka dimana manusia diberdayakan dan dioptimalkan potensi
(fitrah) bawaannya maka dibutuhkan konsep pendidikan yang dapat memberi
gambaran yang komprehensif dengan menekankan keharmonisan hubungan baik sesama
manusia, masyarakat maupun lingkugan yang didasarkan pada nilainilai normatif
illahiyah.
III. KESIMPULAN
Dari pemaparan
di atas dapat dipahami bahwa pengdikotomian pendidikan di Indonesia terjadi
disebabkan oleh banyak hal.Pertama, dikotomi ini merupakan warisan zaman
koloni, yaitu para penjajah memberikan kebebasan dalam beragama, tapi mereka
setengah-setengah memberikan kebebasan.hal ini terbukti misalnya pemberian
kebebasan menempuh pendidikan hanya dibatasi pada anak bangsawan. Kedua,
Setelah kemerdekaan, dulaisme yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda tetap
mengakar dalam dunia pendidikan kita. Pandangan beberapa pejabat yang menangani
bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian
pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula : berdiri
di kutub yang berbeda dengan sekolah Umum. Ketiga, kondisi riil dalam
Negara kita, yakni adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.
Maka solusi yang harus dilakukan
dalam menghilangkan dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia sebagai
berikut:
1. Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan “ilmu-ilmu
agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan
“ilmu-ilmu umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara bahwa
pemisahan (pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical accidetn
(kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keislaman. Dalam dataran
koseptual kita hanya dapat mengatakan; inti dari persoalan pensakralan cabang
ilmu ini berkaitan erat dengan persoalan politik.
2. Pemerintah dalam hal ini memegang puncak “kekuasaan” mampu
menghasilkan pendidikan yang mensinergikan dua ilmu ini.
3. UIN dalam hal ini pendidikan yang berlabelkan Islam, mampu menjawab
tantangan zaman, yang selama ini mempunyai keinginan keras dalam mengintegrasi
dua keilmuan ini.
4. Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau setidaknya
menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu sebut saja
misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinergikan ilmu ushul fiqh dan filsafat
Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang menorehkan
sejarah kebangkitan.
Demikianlah
makalah tentang dikotomi dan dulaisme pendidikan di Indonesia dengan berbagai
keterbatasan referensi yang ditemui dan keterbatasan kemampuan analisa
pemakalah. Tataran konsep dikotomi akan menimbulkan dulaisme pendidikan pada
tataran praksis yang pada berikutnya akan menimbulkan keterpurukan hasil dalam
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hamid, dkk, Pemikiran Modern Dalam
Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010, cet-1.
Al-Attas,
Syed Muhammadal-Naquib, 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam Suatu Kerangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan
Abd. Rahman
Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif (Cet. I:
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), karangan Jasa Ungguh Muliawan,
Abudin Nata,
Manajemen Pendidikan, Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta, Kencana Prebada Media Group, 2008, Cet-3.
Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,Yogyakarta, 1991.
Rohmat,
Isu-isu Pendidikan dalam Islam, 2011.
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya,
2007, cet-7
Ahmad Watik
Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, Muslih
Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta
: Tiara Wacana, 1991),
Ahmad Baso, NU
Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006),
A.Malik
Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama
Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong
Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.
Azyumardi
Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam,
Amissco, Jakarta, 1996.
————,Pendidikan
Islam tradisi dan modernisasimenuju millennium Baru. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.1999.
————, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Kompas,
2006)
Amin,
Abdullah,Menyatukan kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum. Yogyakarta: Suka
Press IAIN Sunan Kalijaga,2003.